Oleh: Elsavivia Rusdi (Kabid Pembukuan dan Pengendalian)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pokok penerimaan daerah yang dikelola secara utuh dengan otorisasi penuh namun tetap memperhatikan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang menjadi acuannya.
Ketika pemerintah mulai mengenalkan program Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD) melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2021 tentang Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Tata Cara Implementasi Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah, hali ini memberikan ruang luas bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan perbaikan-perbaikan tata kelola PAD, terutama di sektor Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Sistem digitalisasi untuk tata kelola Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan sebuah keniscayaan. Selain memberikan pelayanan prima bagi masyarakat, juga dapat mengurangi kebocoran-kebocoran yang selama ini terjadi. Melalui digitalisasi, masyarakat dapat mengakses pelayanan dimana saja dan kapan saja yang tentunya melalui platform digital.
Bukan hal yang sulit mengingat saat ini masyarakat dunia sudah beralih menjadi masyarakat digital, begitu pula halnya dengan masyarakat Indonesia.
Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, saat ini sebesar 97,42% wilayah permukiman di Indonesia sudah tercover oleh jaringan 4G. Lebih lanjut, data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan bahwa sekitar 229 juta masyarakat Indonesia atau sebesar 80,66% dari total populasi telah menggunakan internet. Artinya, secara infrastruktur maupun sosial, masyarakat sudah beradaptasi dengan pola hidup digital.
Prinsip dari digitalisasi ini adalah keterbukaan informasi publik, kemudahan pelayanan, kecepatan serta akuntabilitas pelayanan. Tentunya ini menggambarkan sebuah masa depan penerimaan daerah di era digital yang sangat positif.
Meskipun dalam implementasinya diperlukan tahapan yang rasional, yaitu merujuk pada proses adaptasi seluruh aktora atau stakeholder yang terlibat serta kesiapan sumberdaya.
Berbicara tentang aktor yang terlibat dalam hal penerimaan daerah di era digital, maka akan memunculkan tiga aktorutama, yaitu Pemerintah Daerah, perbankan, dan masyarakat itu sendiri.
Pemerintah Daerah menjadi aktor yang membuat regulasi, menyediakan infrastruktur dan menyediakan sumberdaya pengelola penerimaan daerah secara digital.
Regulasi yang dibuat tentunya harus memenuhi prinsip-prinsip kebijakan publik. Salah satu prinsip kebijakan publik yang baik menurut Lawrence W Reed (2001) dalam bukunya yang berjudul “Seven Principles of Sound Public Policy”adalah “If you encourage something, you get more of it; if you discourage something, you get less of it” yang jika diterjemahkan ke dalam konteks ini, maka dibutuhkan dorongan kuat untuk meningkatkan penerimaan daerah, yaitu salah satunya melalui proses digitalisasi tata kelola.
Selanjutnya, infrastruktur yang disediakan harus sesuai dengan kebutuhanp proses digital, baik software maupun hardware. Aplikasi harus bisa diintegrasikan dengan aplikasi lainnya serta keamanan data harus terjamin.
Perlu diketahui bersama bahwa data perpajakan Wajib Pajak bersifat rahasia dan patut dijaga kerahasiannya oleh setiap fiskus.
Pemerintah Daerah juga harus menyediakan sumberdaya pengelola dengan kualifikasi yang tidak hanya memiliki keahlian dan pengetahuan yang relevan dengan teknologi, tetapi juga memahami bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Artinya, sumberdaya pengelola perlu memiliki dua keahlian, yaitu menguasai teknologi dan menguasai pengetahuan tentang penerimaan daerah.
Kita sepakati bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan secara rutin dan berulang akan memahirkan seseorang dan mendorong kreativitas serta inovasi. Artinya tidak ada yang sulit dan tidak mungkin.
Aktor kedua adalah pihak perbankan yang dalam hal ini adalah Bank Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), yaitu bank yang menjadi tempat penyimpanan uang daerah untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah.
Saatinisebagianbesar Bank RKUD yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah adalah Bank Pembangunan Daerah (BPD), seperti Bank Lampung, Bank Jatim, Bank Jabar, Bank DKI, Bank Sumsel Babel dan lainnya. Perbedaan utama antara BPD dengan bank umum lainnya terletak pada kepemilikan saham dan tujuan pendirian. Jika bank umum dimiliki oleh swasta dan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, BPD dimiliki oleh pemerintah daerah dan bertujuan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan daerah.
Saat ini terdapat 27 BPD untuk 38 provinsi yang tersebar di Indonesia.
Bank RKUD memiliki kontribusi yang cukup besar dalam menentukan masa depan penerimaan daerah di era digital. Mereka harus mampu bersaing dengan bank umum lainnya dalam hal pelayanan perbankan. Proses yang cepat, tepat dan akurat serta responsif dengan kebutuhan masyarakat menjadi prinsip mereka dalam memfasilitasi berbagai transaksi keuangan.
Untuk melakukan hal tersebut, BPD haruslah memenuhi syarat bank sehat. Berdasarkan hasil overview kinerja dan perkembangan Bank Pembangunan Daerah (BPD) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk Tahun 2018-2023 dalam Roadmap Penguatan Bank Pembangunan Daerah Tahun 2024-2027, menunjukkan kinerja positif BPD dengan total aset yang terus bertambah setiap tahunnya dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 8,51%, pertumbuhan rata-rata penyaluran kredit sebesar 7,56%, dan pertumbuhan rata-rata penghimpunan dana pihak ketiga sebesar 8,99%.
Aktor terakhir yang tak kalah pentingnya adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat menjadi subjek dan objek penentu masa depan penerimaan daerah di era digital. Masyarakat harus menyadari bahwa digitalisasi adalah sebuah keniscayaan di tengah perkembangan teknologi yang sangat cepat.
Mereka harus meningkatkan kapasitas diri agar dapat memanfaatkan proses digitalisasi secara maksimal karena seyogiyanya teknologi dibuat untuk memudahkan hidup manusia sehari-hari. Melalui peningkatan literasi digital, diharapkan masyarakat mampu menggunakan perangkat digital dan memahami informasi di dalamnya.
Lebih lanjut, saat ini masyarakat konvensional bertransformasi menjadi cashless society dimana mereka bertransaksi secara non tunai.
Selain faktor efisiensi, dari sisi keamanan dapat mengurangi risiko kehilangan atau pencurian uang tunai. Untuk pembayaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara non tunai tentunya sangat membantu pemerintah mengurangi kebocoran-kebocoran yang mungkin terjadi. Uang yang dibayarkan oleh Wajib Pajak dan Wajib Retribusi akan langsung
masuk ke RKUD sesuai angka ketetapan.
Dengan komitmen dan integritas yang tinggi, pada akhirnya tata kelola penerimaan daerah melalui digitalisasi yang melibatkan beberapa aktor akan membentuk sebuah sistem sosial yang profesional dan akuntabel. Konsep good governance yang muncul pada awal tahun 1990-an akan terwujud sempurna melalui proses revolusi dan bukan evolusi. Masyarakat akan hidup dengan keteraturan sosial dan memiliki kemampuan adaptif terhadap perubahan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Peningkatan penerimaan daerah bukan lagi menjadi output utama yang diharapkan, melainkan sebagai insentif dari pembangunan Indonesia yang sebenarnya.


